
Tuntunan Praktis I’tikaf
A. Definisi I’tikaf
I’tikaf secara bahasa adalah:
لزوم الشيء وحبس النفس عليه
Melazimi sesuatu dan menahan diri atasnya.
Sedangkan menurut istilah:
لزوم المسلم المميز مسجدا لطاعة الله عز وجل
“Berdiamnya seorang muslim yang mumayyiz di suatu masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Azza Wajalla.” (Al-Fiqhul Muyassar, h. 170).
Syeikh Utsaimin rahimahullah mendefinisikan bahwa i’tikaf adalah:
لزوم المسجد للتفرغ لطاعة عز وجل
“Menetap di dalam masjid dengan memanfaatkan waktu untuk melakukan ketaatan kepada Allah Azza Wajalla” (Majaalis Syahri Ramadhaan, h.164).
B. Dalil Pensyariatan I’tikaf
Dalil-dalil disyariatkannya i’tikaf terdapat dalam Al-Qur’an, sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ijma.
Adapun dari Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطّآئِفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُجُودِ
“Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf dan yang rukuk dan sujud.” (QS. Al-Baqarah, ayat 125).
Ayat di atas menunjukkan bahwa i’tikaf juga disyariatkan pada umat-umat terdahulu.
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَٰكِفُونَ فِيْ الْمسٰجِدِ
“Dan janganlah kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah, ayat 187).
Adapun dalil dari sunnah di antaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu alaihi wa salam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian isteri-isteri beliau shallallahu alaihi wa sallam senantiasa ber’itikaf setelah beliau wafat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Adapun dalil ijma:
Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak wajib atas manusia, kecuali seseorang mewajibkan dirinya dengan cara bernadzar, maka hal itu wajib atasnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “I’tikaf adalah sunnah secara ijma, tidak wajib kecuali dengan nadzar. Demikianlah dinukil kesepakatan oleh Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Qudamah. (Al-Ijma’, h. 60, Al-Mughni, Juz III, h. 183, Al-Majmu’, Juz VI, h. 501).
C. Hukum I’tikaf
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, kecuali apabila seseorang bernadzar, maka hal tersebut menjadi wajib baginya.
D. Hikmah I’tikaf
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan i’tikaf bagi mereka agar ruh dan hatinya konsentrasi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta ketulusannya hanya kepada-Nya, berkhalwat (menyendiri) dengan-Nya, dan memutuskan diri dari kesibukan duniawi dan hanya menyibukkan diri dengan Allah. Dia menjadikan seluruh perhatiannya untuk dzikir, cinta, perhatiannya kepada-Nya. Keinginan dan hatinya tertuju pada dzikir kepada-Nya, bertafakkur untuk mendapatkan keridhaan-Nya, serta mengerjakan apa yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya sehingga keakrabannya hanya kepada Allah, sebagai ganti keakrabannya terhadap manusia. Inilah maksud dari i’tikaf. (Zaadul Ma’ad, Juz II, h. 36).
Maka, dari sini dapat dipahami bahwa i’tikaf merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu, ia juga merupakan sarana untuk mendapatkan lailatul qadr, sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
E. Syarat-Syarat I’tikaf
I’tikaf merupakan ibadah yang memiliki beberapa syarat, yaitu:
1. Orang yang beri’tikaf adalah Muslim, mumayyiz dan berakal. Maka, tidak sah i’tikafnya orang kafir, orang gila, dan anak yang belum mumayyiz. Adapun baligh bukanlah persyaratan i’tikaf, sehingga anak yang belum baligh sah i’tikafnya.
2. Niat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
إنَّمَا الْأ عْمَالُ بِالنِّياتِ
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat-niatnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
3. I’tikaf dilakukan di Masjid, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأنْتُمْ عٰكِفُونَ فِي الْمَسٰجِدِ
“Ketika kamu beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah, ayat 187).
Dan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam di mana beliau beri’tikaf di masjid, dan tidak dinukil dari beliau bahwa beliau beri’tikaf di selain masjid.
4. Hendaknya beri’tikaf di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjamaah.
5. Suci dari hadas besar, sehingga tidak sah i’tikafnya orang yang junub, wanita haid dan nifas.
Adapun puasa bukanlah syarat dari i’tikaf, namun apabila orang yang beri’tikaf juga berpuasa maka itu lebih utama.
F. Sunnah-Sunnah Yang Dianjurkan Ketika Beri’tikaf
Orang yang beri’tikaf senantiasa menyendiri (berkhalwat) dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memutuskan hubungan dengan selain-Nya, maka orang yang beri’tikaf hendaknya menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka orang yang beri’itikaf dianjurakan:
1. Memperbanyak shalat-shalat sunnah.
2. Memperbanyak membaca Al-Qur’an.
3. Memperbanyak dzikir dan do’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Memperbanyak bertaubat dan beristigfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Memperbanyak bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
6. Termasuk di dalamnya, mengkaji ilmu syar’i, mempelajari kitab-kitab, baik kitab tafsir maupun kitab hadis,dan lainnya. Karena itu sangat dianjurkan untuk mencari Masjid sebagai tempat untuk beri’tikaf yang di dalamnya terdapat kajian ilmu agama.
G. Hal-Hal Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Beri’tikaf
1. Orang yang beri’tikaf boleh keluar dari masjid untuk memenuhi hajat yang dibutuhkan, seperti berwudhu, buang hajat, atau mencari makanan dan minuman apabila tidak disediakan di masjid.
2. Orang yang beri’tikaf boleh mendirikan kemah kecil di masjid untuk dia tempati ketika beri’tikaf. Sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah radhiallahu anha pernah medirikan kemah untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
3. Orang yang beri’tikaf boleh menggelar karpet atau tempat tidur di masjid. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Zawaaid nya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma.
4. Orang yang beri’tikaf boleh dikunjungi oleh kerabatnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah beri’tikaf dan dikunjungi oleh isterinya (Shafiyah radhiallahu anha). Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Imam Ibnu Majah membuat bab dalam Sunannya Bab Al-Mu’takif yazuuruhu ahluhu fil masaajid.
5. Orang yang beri’tikaf boleh melakukan hal-hal yang mubah, seperti menyisir rambut, berbincang-bincang, makan, minum dan tidur di masjid selama tetap menjaga kebersihan masjid.
6. Wanita yang mengalami istihadhah boleh beri’tikaf di masjid. Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya menyebutkan Bab al-I’tikaaf al-Mustahadhah.
H. Durasi Waktu I’tikaf
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal i’tikaf. Mereka hanya berselisih tentang batasan minimalnya.
Pertama: Waktu i’tikaf minimal sehari semalam. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang masyhur dari Abu Hanifah.
Dalilnya, karena mereka mempersyaratkan puasa dalam beri’tikaf. Namun, telah disebutkan sebelumnya bahwa puasa bukanlah syarat i’tikaf. (Lihat syarat-syarat i’tikaf).
Kedua: Tidak ada batasan minimal i’tikaf. Dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Daud Az-Zhahiri, Ibnu Ulayyah, yang masyhur dari Imam Ahmad, salah satu riwayat dari Abu Hanifah, dan ini yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.
Dan inilah pendapat yang kuat. (Fathul Bari, Juz IV, h. 806, Syarah shahih Muslim, Juz VIII, h. 46).
Dalam Kitab Al-Fiqhul Muyassar halaman 172, disebutkan bahwa:
والصحيح -إن شاء الله- أن وقت الاعتكاف ليس لأقله حد, فيصح الاعتكاف مقدارا من الزمن, وإن قل
“Pendapat yang shahih -insya Allah- bahwa waktu i’tikaf tidak memiliki batasan minimal, sehingga i’tikaf tetap sah walaupun hanya dengan waktu yang sebentar.”
H. Hukum Wanita Beri’tikaf
Wanita dibolehkan beri’tikaf di masjid. Hal ini berdasarkan riwayat yang telah disebutkan seblumnya bahwa para isteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga beri’tikaf.
Namun apabila wanita tersebut telah menikah, maka dia harus meminta izin kepada suaminya. Demikian juga hendaknya menjaga dirinya agar tidak menimbulkan fitnah.
I. Masjid Yang Ditempati Beri’tikaf
Para ulama telah sepakat bahwa i’tikaf hanya dilakukan di masjid, dan tidak dilakukan di selain masjid.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون إلا في مسجد
“Para ulama telah sepakat bahwa i’tikaf hanya boleh dilakukan di dalam masjid.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I, h. 707).
Demikian juga disebutkan oleh Ibnu Rusyd rahimahullah:
“Para ulama sepakat bahwa di antara syarat i’tikaf harus dilakukan di masjid, kecuali pendapat Ibnu Lubabah yang mengatakan, boleh i’tikaf di selain masjid.” (Bidayah Al-Mujtahid, h. 251).
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang masjid yang ditempati beri’tikaf, dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: Tidak sah i’tikaf kecuali di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Ini merupakan pendapat Hudzaifah bin Al-Yaman, dan Sa’id bin Musayyab.
Kedua: Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang ditegakkan shalat Jum’at. Ini merupakan pendapat Urwah bin Az-Zubair, Al-Hakam, Hammad, Az-Zuhri dan salah satu pendapat Imam Malik.
Ketiga: Dibolehkan i’tikaf di semua masjid yang ditegakkan shalat berjama’ah. Ini pendapat Sa’id bin Jubair, Abu Qilabah, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ath-Thabari, dan lainnya.
(Tafsir Al-Qurthubi, Juz I, h. 707, Muskul Khitaam, Juz II, h. 575, Bidayah Al-Mujtahid, h.251).
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang ketiga (Miskul Khitam, Juz II, h. 575).
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأنْتُمْ عٰكِفُونَ فِي الْمَسٰجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah, ayat 187).
Ayat di atas menunjukkan umum pada setiap masjid.
Hanya saja i’tikaf di tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha) itu yang lebih utama. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh Utsaimin rahimahullah, beliau berkata: “Yang benarnya adalah i’tikaf umum di setiap masjid, akan tetapi tidak diragukan bahwa i’tikaf di tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masdil Aqsha) itu yang lebih utama, sebagaimana shalat di tiga masjid itu lebih utama.” (Syarhul Mumti, Juz III, h. 119).
Wallahu a’lam.
___________________
Ustadz Anshari, S. Th. I, MA hafizhahullah
(Pembina Pusat Dakwah dan Kajian Sunnah Gowa)